2 April 2014

KONSEP PENDIDIKAN INTEGRAL


Apakah Pendidikan Integral?

Pesantren Hidayatullah sejak awal didirikannya di Balikpapan, Kalimantan Timur,oleh ustadz Abdullah Said (almarhum) telah mencanangkan diri bukan saja sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran yang hanya transfer ilmu (transfer of knowledge), tetapi lebih dari itu adalah sebagai sarana (wasilah) untuk membumikan keagungan nilai-nilai Islam pada realitas kehidupan yang berupa transfer nilai (transfer of value). Jadi, sebenarnya bukan merupakan trend baru jika kemudian muncul istilah integral sebagai brand image pada lembaga pendidikan hidayatullah akhir-akhir ini.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia integral berarti meliputi seluruh bagian untuk menjadikan lengkap; utuh; bulat; sempurna. Bisa juga berarti tidak terpisahkan; terpadu. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris, Integrated berarti menyatu-padukan / menggabungkan (two towns into one). Berbicara masalah pendidikan tentunya tidak terlepas dari kurikulum. Dengan demikian, pendidikan integral berarti  pendidikan yang mengarah pada prinsip-prinsip kurikulum yang dikembangkan secara utuh dan sempurna sehingga semua aspek merupakan bagian yang menyeluruh dan tidak terpisahkan/terpadu. Untuk memahami definisi ini kita perlu memahami beberapa hal. Yang pertama adalah mengetahui prinsip kurikulum yang wajib dilaksanakan pada pendidikan integral antara lain :

1.      Siswa harus mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis, dan menyenangkan.

2.      Menegakkan 5 pilar belajar :

a             Belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT (ajaran tauhid).

b             Belajar untuk memahami dan menghayati arti kehidupan.

c             Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif dan efisien.

d             Belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain.

e             Belajar untuk menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

3.      Suasana hubungan siswa dan guru yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka dan hangat.

4.      Menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar.

5.      Mendayagunakan kondisi alam sekitar, sosial dan budaya.

6.      Diselengggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan dan kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang pendidikan.

Adalah merupakan suatu keharusan bagi para orang tua, para pengajar maupun para pendidik, bertanggung jawab terhadap pendidikan dan pembinaan anak-anak serta mempersiapkan mereka untuk menghadapi masa depan.

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka generasi (anak-anak) yang lemah, yang mereka khawatir dengan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

(Q.S. 4 : 9).

Kedua, para orang tua dan pendidik harus mengetahui tanggung jawab pendidikan terpenting, yang mana ini merupakan komponen-komponen dalam kurikulum pendidikan tauhid, adalah  :

1.      Tanggungjawab pendidikan tauhid (spiritual)

2.      Tanggungjawab pendidikan akhlaq/moral

3.      Tanggungjawab pendidikan fisik

4.      Tanggungjawab pendidikan intelekktual

5.      Tanggungjawab pendidikan psikis (interpersonal)

6.      Tanggungjawab pendidikan sosial

7.      Tanggungjawab pendidikan seksual

Pendidikan tauhid  adalah mengikat anak dengan dasar-dasar rukun iman,rukun islam dan dasar-dasar syari’ah,sejak anak mulai mengerti dan memahami sesuatu. Dalam hal ini Rasululloh SAW memberi petunjuk antara lain:

Ø  Membuka kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha Illalloh

Ø  Mengenalkan hukum halal dan haram kapada anak

Ø  Menyuruh anak beribadah mulai usia 7 tahun

Ø  Mendidik anak untuk mencintai Allah SWT, Rasulullah SAW dan Alqur’an

Tauhid artinya keesaan Allah (unity of God); kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu-satunya Dzat yang patut disembah. Hal ini sesuai dengan Alqur’an surat Luqman ayat 13 yang artinya :

Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya,ketika dia memberi pelajaran kepadanya,”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan (Allah),sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”(Q.S.Luqman ; 13).

Pendidikan akhlaq/moral meliputi pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak dini sehingga menjadi manusia yang mampu mengarungi lautan kehidupan. Jadi sejak masa anak-anak mereka tumbuh dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah SWT dan terdidik untuk selalu takut, ingat, bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepadaNya, sehingga ia akan memilki potensi di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, di samping terbiasa melakukan akhlaq mulia.

Yang dimaksud pendidikan fisik adalah menjaga dan melatih anak menjaga jasmaninya agar kelak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, semangat dan bergairah. Dalam hal ini Islam menyajikan metode praktis dalam mendidik fisik anak-anak :

Ø Ayah wajib memberi nafkah keluarga dengan cara yang ma’ruf

Ø Mengikuti aturan yang sehat dalam makan, minum dan tidur

Ø Mencegah diri dari penyakit menular

Ø Pengobatan terhadap penyakit,dan lain-lain

Tanggungjawab pendidikan intelektual merupakan pembentukan dan pembinaan berpikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu pengetahuan, peradaban ilmiah serta kesadaran berpikir dan berbudaya. Dengan pendidikan ini ilmu rasio dan peradaban anak benar-benar terbina.

Sedangkan pendidikan psikis adalah melatih anak supaya berani, berterus terang, merasa sempurna, suka berbuat baik kepada orang lain, menahan diri ketika amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan psikis dan moral. Tujuan pendidikan ini adalah membentuk, menyempurnakan, dan menyeimbangkan kepribadian anak sehingga kelak ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada dirinya dengan baik dan mulia. Dalam hal ini faktor-faktor terpenting yang harus dihindarkan oleh para pendidik dari anak-anak dan siswa-siswi adalah sifat-sifat berikut :

Ø  Sifat minder

Ø  Sifat penakut

Ø  Sifat rasa rendah diri

Ø  Sifat hasut/iri/dengki

Ø  Sifat pemarah

Pendidikan sosial adalah pendidikan agar anak terbiasa menjalankan adab sosial yang baik yang bersumber pada aqidah Islamiyah serta perasaan keimanan yang mendalam agar di dalam masyarakat ia bisa tampil dengan pergaulan dan adab yang baik serta tindakan bijaksana. Oleh karena itu para pendidik harus berusaha keras untuk melaksanakan tanggungjawabnya dengan sebaik mungkin dalam pendidikan sosial.Sehingga mereka dapat memberikan andil di dalam mengusung suatu peradaban Islam yang berpusat pada keimanan, akhlaq, pendidikan sosial terbaik dan norma-norma Islami yang tinggi.

Sedangkan pendidikan seksual meliputi upaya  pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah seksual yang diberikan kepada anak,sejak ia mengerti masalah-masalah yang dihalalkan dan diharamkan. Bahkan mampu menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlaq, kebiasaan, dan tidak mengikuti syahwat.

Tanggungjawab terhadap tujuh masalah ini saling berkait erat dalam pembentukan karakter anak secara integral dan dalam mendidik anak secara sempurna agar menjadi seorang insan yang konsisten dalam melaksanakan kewajiban, risalah dan tanggungjawab. Alangkah hebatnya, jika intelektual yang tinggi dilandasi dengan tauhid yang kuat. Alangkah indahnya, jika akhlak mulia itu diiringi kesehatan jasmani dan rohani. Alangkah agungnya, ketika anak bertolak mengarungi kehidupan praktis dengan membawa persiapan yang telah dirancang oleh para pendidik dari seluruh aspek kehidupannya.

Bagaimana Konsep Pendidikan Integral?

Sebagaimana yang tertuang dalam pengertian istilah, maka dalam pendidikan integral tentu saja memadukan berbagai aspek, yang mana antara satu dengan yang lain saling terkait sehingga terbentuk satu kesatuan yang utuh dan sempurna. Dalam hal ini ada banyak hal yang diintegrasikan dalam model pendidikan integral.

Pertama, mendesain lingkungan belajar yang terdiri dari 3 institusi yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ketiga institusi ini saling terkait erat antara yang satu dengan yang lain. Keluarga merupakan institusi pendidikan yang utama dan pertama, karena sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan di dalam lingkungan keluarga. Jika anak ingin sukses di sekolah maka orang tua tentu saja tidak tinggal diam terhadap perkembangan anaknya. Orang tua tidak boleh menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada pihak sekolah, demikian sebaliknya. Harus ada komunikasi hangat antara sekolah dan keluarga. Komunikasi antara orang tua dan guru merupakan media untuk mengetahui perkembangan psikologis anak.

Prinsipnya, orang tua harus aktif mengikuti perkembangan anaknya ketika di sekolah, termasuk mencermati pelaksanaan kurikulum sekolah tempat anak mereka menuntut ilmu. Guru adalah orang tua ketika anak di sekolah, dan orang tua adalah guru ketika anak di rumah. Sungguh indah jika para pendidik bisa memahami kalimat ini. Yang jelas, kualitas pertemuan antara orang tua dan anak-anak di rumah harus diciptakan semenarik mungkin agar anak sukses di sekolah. 

Sekolah, merupakan institusi pendidikan formal yang mutlak dicari oleh orang tua. Dalam sistem pendidikan integral lingkungan sekolah didesain semenarik mungkin agar anak didik betah belajar di dalamnya. Mulai dari kelas tempat mereka belajar, halaman tempat mereka bermain, masjid tempat mereka belajar beribadah kepada Allah, dan sebagainya. Bukan hanya itu, dalam konsep pendidikan integral guru bukan saja transfer ilmu (transfer of knowledge) tapi  juga transfer nilai (transfer of value), sebagai implementasi tanggungjawab pendidikan dari seluruh aspek. Dalam hal ini sudah seharusnya kita meneladani Rasulullah Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah,seperti firman Allah SWT dalam Alqur’an surat Al-Ahzab ayat 21, yang artinya ‘Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.’ Pendekatan dan metodologi pengajaran integral mesti dilandasi dengan teladan yang baik dari guru/pendidik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa aplikasi paling nampak dari seorang pendidik yang baik adalah karimul akhlaq. Akhlaq bukan semata-mata sopan santun atau tata krama yang berasal dari tradisi suatu bangsa. Akhlaq seorang muslim adalah refleksi dari keimanan kepada Allah dan RasulNya. Muhammad adalah satu-satunya manusia yang dijadikan  Allah sebagai model untuk diikuti dan diteladani, karena akhlaq Rasulullah adalah Alqur’an itu sendiri. Allah berfirman dalam surat Al-Qalam ayat 4 yang artinya: ”Dan sungguh engkau (Muhammad)) benar-benar memiliki akhlaq yang agung.” Dalam bahasa Jawa, guru adalah akronim dari digugu lan ditiru, didengarkan nasihatnya dan ditirukan/diikuti tingkah lakunya. Adalah sebuah kesalahan besar jika pendidik memberikan contoh yang salah sehingga murid pun akan melakukan kesalahan untuk selamanya.

Selain itu, sekolah integral juga memadukan  antara pendekatan dan metodologi pengajaran, siswa dengan guru, guru dengan orang tua/wali murid serta lingkungan sekolah. Materi pelajaran yang mencakup seluruh ilmu pengetahuan dipandang secara komprehensif di mana keseluruhannnya merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga tidak ada pemisahan antara ilmu agama (ulumuddin) dan ilmu pengetahuan umum, duniawi dan ukhrowi.

Oleh karenanya seorang pendidik dalam lembaga pendidikan integral mesti memiliki karakter siddiq (jujur), tawadlu’ (rendah hati), dan selalu menjaga ukhuwah yang ditandai dengan ruhama’ (kasih sayang). Tidak kalah penting, keikhlasan adalah karakter utama yang harus dimiliki seorang pendidik. Dalam sistem pendidikan integral semua guru adalah guru agama (Islam, red.), sedangkan murid dipandang secara utuh dari seluruh instrumen yang dimiliki manusia sehingga aspek intelektual, emosional, dan spiritual dikembangkan secara integrated.

Institusi pendidikan ketiga adalah masyarakat, lingkungan sekitar yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak sampai kelak mereka dewasa. Masyarakat dengan sosio-kultur yang beragam akan membawa anak kepada berbagai pilihan. Mulai dari tradisi, paradigma, life style dan keberagaman yang lain, yang mana semuanya mudah ditirukan oleh anak. Biarkan mereka membaur dengan masyarakat, bermain dengan teman-teman, dan bergaul dengan lingkungan tempat tinggal mereka, karena ini merupakan bagian dari proses belajar mereka. Sopan santun, tata krama, memahami karakter orang lain, memberi dan menerima perbedaan, dan mengalami kekalahan akan mereka peroleh di sana. Di sinilah perlunya pendampingan dan peran aktif orang tua dan pendidik dalam mengontrol tumbuh kembang karakter spiritual dan emosional mereka. Orang tua dan pendidik dapat memberikan penjelasan serta pencerahan tentang fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar dan memberikan solusi bagaimana mengatasinya.

Kedua, sekolah integral mengembangkan beragam kecerdasan yang sudah dimiliki anak didik di dalam diri masing-masing sebagai karakter dasar. Beragam kecerdasan itu adalah kecerdasan intelektual atau IQ (Intelektual Quotient), kecerdasan emosi atau EQ (Emotional Quotient), dan kecerdasan spiritual atau SQ (Spiritual Quotient) yang ternyata mengikuti konsep Rukun Iman dan Rukun Islam yang menjadi pondasi dalam agama Islam.

1.      Kecerdasan intelektual (IQ) dikembangkan dengan cara membantu siswa melalui 4 tahap discovery learning, yaitu merencanakan kegiatan belajar untuk membantu siswa dalam menjawab pertanyaan, menggunakan berbagai sumber untuk mendapatkan informasi dan mencatat  hasil temuannya, merenungkan apa yang telah dilakukan, dan menyimpulkan apa yang telah ditemukan. Dalam konsep pendidikan integral kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan yang cumlaude, bukan menjadi satu-satunya tolok ukur dalam menilai kecerdasan anak. Kelak ketika mereka sudah terjun di dunia yang sesungguhnya, nilai yang bagus belum tentu bisa dijadikan tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang dalam pekerjaannya atau seberapa tinggi sukses yang dicapai.

2.      Kecerdasan emosional (EQ) adalah kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah kejujuran diri kita terhadap suara hati. EQ merupakan inti kemampuan pribadi dan social yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang. Pengembangan kecerdasan ini dimulai dengan membantu siswa untuk mengembangkan strategi belajar cooperative learning melalui proses belajar. Juga membantu siswa dalam berbagi ilmu atau apa yang telah mereka pelajari kepada teman-teman yang berbeda kemampuan berpikirnya, serta belajar berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Dalam pengembangan kecerdasan ini anak diajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, ketahanan mental menghadapi kegagalan, kebijaksanaan, keadilan, penguasaan diri, keberanian, kerjasama dan lain-lain.

Berdasarkan survei di Amerika Serikat pada tahun 1918 tentang IQ ditemukan ‘paradoks’ membahayakan; “Sementara skor IQ anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru turun. Lebih mengkhawatirkan lagi, data hasil survei besar-besaran 1970 dan 1980 terhadap para orang tua dan guru menunjukkan,’Anak-anak generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi terdahulunya. Secara pukul rata anak-anak sekarang cenderung kesepian dan depresi, mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung  cemas, impulsif dan agresif.” Dalam pengkajiannya kemudian ditemukan suatu inti kemampuan pribadi dan social yang sama, yang terbukti menjadi kunci utama keberhasilan, yaitu kecerdasan emosi.                  3.Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia karena ia sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Kecerdasan spiritual merupakan temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dari Harvard University dan Marshall dari Oxford University. Menurut mereka kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks yang lebih luas, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Pengembangan kecerdasan jenis ini dimulai dari ketakjuban akan tanda-tanda kebesaran Allah SWT melalui pengalaman belajar, yang bisa dilihat dari diri sendiri, alam sekitar tempat belajar, sejarah, serta tulisan sehingga hati dan pikiran anak bisa diaktifkan selama proses belajar sedang berlangsung. Setelah usai pelajaran anak-anak dilatih menerapkan dalam lingkungan sekitar bersama teman mereka, yang merupakan implementasi ibadah harian seperti wirid, qiyamul lail, sedekah, muamalah dan berbagai jenis ibadah yang lain, sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang positif.

 

  Mengapa Harus Memilih Pendidikan Integral Berbasis Tauhid?

Saya yakin, masih banyak orang tua dan pendidik yang merasakan ketidakpuasan dalam dunia pendidikan. Masih banyak pula yang gelisah karena bisa belajar agama secara ritual saja tanpa tahu bagaimana makna dan penerapannya dalam kehidupan. Namun banyak di antaranya yang tidak sadar bahwa sesungguhnya yang tidak puas bukanlah fisiknya, tapi adalah hati yang ada di dalam dada. Itulah jeritan kita semua, jeritan generasi penerus perjuangan Islam. Tidaklah cukup ketika kita ingin meningkatkan kualitas moral manusia hanya dengan mengembangkan intelektual saja, tapi juga dibutuhkan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual.

Jika kita perhatikan dalam sistem pendidikan nasional, mulai dari kurikulum 1975, kurikulum 1994, kurikulum 2004, sampai KBK  (Kurikulum Berbasis Kompetensi) , ternyata di dalamnya hanya mencantumkan materi pendidikan agama 2 jam pelajaran pada setiap minggu. Padahal pendidikan agama diharapkan mampu memberikan solusi bagi permasalahan hidup saat ini. Ternyata pendidikan agama hanya menjadi ajaran ‘fiqh’ yang dipahami sebagai pendekatan ritual saja, sehingga terjadi pemisahan antara kehidupan duniawi dan ukhrowi. Hal ini berarti hanya berkisar 6,25 % dari seluruh muatan pelajaran yang ada dalam kurikulum. Di Indonesia pada umumnya Hari Belajar Efektif (HBE) dan Minggu Efektif (ME) yang dijalani anak didik di sekolah sangat sedikit. Rata-rata hanya ada sekitar 33 minggu efektif pada tiap  tahun. Berarti mata pelajaran agama yang diterima hanya 66 jam pelajaran. Ini setara dengan 2.640 menit (66 jam pelajaran x 40 menit), yang berarti hanya 44 jam saja. Padahal diketahui bahwa dalam setahun manusia memiliki jatah waktu sebanyak 8.760 jam. Itu artinya, anak-anak hanya menggunakan 0,5 % dari seluruh waktu yang dimilikinya per tahun untuk belajar agama. Maka sisanya sebesar 99,5 % per tahun terbuang tak bermakna. Ini setara dengan 8.716 jam yang terbuang per tahun. Jika kita asumsikan usia rata-rata manusia adalah 60 tahun, maka sebanyak 522.960 jam terbuang sia-sia selama hidupnya. Sangat ironis. ’Sungguh, manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi.’(Q.S. Al-‘Ashr: 2)

Maka, tidak mengherankan jika sistem pendidikan seperti ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shalih yang handal sesuai harapan umat. Sistem pendidikan yang diterapkan masih jauh dari standar nilai agama (Islam,red.). Pembentukan karakter siswa (character building) yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan tidak kunjung mendapat perhatian. Jika kita pahami lebih serius, maka semuanya hanya akan membawa manusia keluar dari fitrahnya, menjauhkan manusia dari hakikat kehidupan yang semestinya. Padahal Allah SWT memerintahkan agar manusia mencari dan menyadari siapa dirinya dan darimana ia berasal. “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang  telah menciptakanmu dari segumpal darah. Baca dengan nama Rabb-mu Yang Maha Pemurah. Yang mengajarimu dengan perantaraan kalam. Yang mengajarimu apa yang tidak kamu ketahui.”(QS.Al-Alaq : 1-5)

Pada umumnya sekolah-sekolah yang ada sekarang cenderung menonjolkan kecerdasan intelektual/koqnitif saja tanpa mengindahkan pentingnya memupuk kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Sekolah dan orang tua bangga jika anaknya memperolah nilai di atas 9 pada mata pelajaran matematika, fisika atau yang lain. Orang tua juga bangga jika anaknya menduduki peringkat pertama di kelas karena kemampuan akademisnya. Bahkan hal tersebut akhirnya menjadi kebanggaan tersendiri jika mereka berkumpul dengan teman dan koleganya. Ini terjadi di mana-mana, di semua ruang dan waktu. Sebagian besar orang tua tidak berpikir kritis bahwa sesungguhnya di balik nilai akademis yang nyaris sempurna itu masih menyisakan banyak kekurangan pada anaknya.

Di masa depan, apa dan bagaimana kita mendidik anak-anak kita akan terbukti lebih penting daripada seberapa banyak kita mendidik mereka. Kalimat ini sungguh indah jika kita renungkan. Anak kita dan anak didik kita adalah bukan milik kita, tetapi anak kita adalah milik jamannya. Pernahkah kita memprediksi apa yang akan terjadi pada anak-anak di jaman yang akan datang? 10 tahun, 15 tahun atau 20 tahun mendatang? Itulah yang akan dialami oleh anak didik kita. Orang tua dan para pendidik harus dapat menyiapkan mereka untuk dunia di masa depan, bukan dunia saat ini. Sistem pendidikan yang cocok untuk anak-anak masa depan adalah pendidikan yang menerapkan keseimbangan beragam kecerdasan, yang meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.

Dengan konsep pendidikan integral berbasis tauhid siswa diajak untuk mengenal kebesaran Allah SWT sejak awal pelajaran. Dengan kecerdasan intelektualnya mereka akan takjub dengan keagungan Allah SWT melalui tanda-tanda yang bisa dilihatnya melalui pengalaman belajar. Tanda-tanda kebesaran Allah SWT dapat mereka lihat melalui diri sendiri maupun alam semesta ciptaanNya, yang mana hal itu dapat memotivasi mereka untuk mengaktifkan hati dan pikiran saat proses belajar. Secara alamiah, ketakjuban siswa dalam mengaktifkan kesadaran yang tinggi akan adanya Allah SWT, akan mengembangkan rasa ingin tahu mereka dan akan meningkatkan minat belajarnya. Yang jelas, dengan pendidikan integral berbasis tauhid lengkaplah sudah siklus pembelajaran yang dimulai dari ketakjuban pada Allah SWT dan diakhiri dengan menjadikan siswa lebih cinta, yakin dan lebih kagum pada Allah SWT. Subhaanallaah.(TWP)

0 komentar:

Posting Komentar