Apakah Pendidikan Integral?
Pesantren
Hidayatullah sejak awal didirikannya di Balikpapan, Kalimantan Timur,oleh
ustadz Abdullah Said (almarhum) telah mencanangkan diri bukan saja sebagai
lembaga pendidikan dan pengajaran yang hanya transfer ilmu (transfer of knowledge), tetapi lebih
dari itu adalah sebagai sarana (wasilah)
untuk membumikan keagungan nilai-nilai Islam pada realitas kehidupan yang
berupa transfer nilai (transfer of value).
Jadi, sebenarnya bukan merupakan trend
baru jika kemudian muncul istilah integral sebagai brand image pada lembaga pendidikan hidayatullah akhir-akhir ini.
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia integral berarti meliputi seluruh bagian untuk
menjadikan lengkap; utuh; bulat; sempurna. Bisa juga berarti tidak terpisahkan;
terpadu. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris, Integrated berarti menyatu-padukan / menggabungkan (two towns into one). Berbicara masalah
pendidikan tentunya tidak terlepas dari kurikulum. Dengan demikian, pendidikan
integral berarti pendidikan yang
mengarah pada prinsip-prinsip kurikulum yang dikembangkan secara utuh dan
sempurna sehingga semua aspek merupakan bagian yang menyeluruh dan tidak
terpisahkan/terpadu. Untuk memahami definisi ini kita perlu memahami beberapa
hal. Yang pertama adalah mengetahui prinsip kurikulum yang wajib
dilaksanakan pada pendidikan integral antara lain :
1.
Siswa harus mendapatkan layanan pendidikan yang
bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara
bebas, dinamis, dan menyenangkan.
2.
Menegakkan 5 pilar belajar :
a
Belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT (ajaran tauhid).
b
Belajar untuk memahami dan menghayati arti kehidupan.
c
Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara
efektif dan efisien.
d
Belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain.
e
Belajar untuk menemukan jati diri, melalui proses
pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
3.
Suasana hubungan siswa dan guru yang saling menerima
dan menghargai, akrab, terbuka dan hangat.
4.
Menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber
belajar dan teknologi yang memadai dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai
sumber belajar.
5.
Mendayagunakan kondisi alam sekitar, sosial dan budaya.
6.
Diselengggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan dan
kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang
pendidikan.
Adalah
merupakan suatu keharusan bagi para orang tua, para pengajar maupun para
pendidik, bertanggung jawab terhadap pendidikan dan pembinaan anak-anak serta
mempersiapkan mereka untuk menghadapi masa depan.
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
di belakang mereka generasi (anak-anak) yang lemah, yang mereka khawatir dengan
kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
(Q.S. 4 : 9).
Kedua, para orang tua dan pendidik harus mengetahui tanggung jawab
pendidikan terpenting, yang mana ini merupakan komponen-komponen dalam
kurikulum pendidikan tauhid, adalah :
1.
Tanggungjawab pendidikan tauhid (spiritual)
2.
Tanggungjawab pendidikan akhlaq/moral
3.
Tanggungjawab pendidikan fisik
4.
Tanggungjawab pendidikan intelekktual
5.
Tanggungjawab pendidikan psikis (interpersonal)
6.
Tanggungjawab pendidikan sosial
7.
Tanggungjawab pendidikan seksual
Pendidikan tauhid adalah mengikat anak dengan dasar-dasar rukun
iman,rukun islam dan dasar-dasar syari’ah,sejak anak mulai mengerti dan
memahami sesuatu. Dalam hal ini Rasululloh SAW memberi petunjuk antara lain:
Ø Membuka
kehidupan anak dengan kalimat Laa Ilaaha
Illalloh
Ø Mengenalkan hukum
halal dan haram kapada anak
Ø Menyuruh anak
beribadah mulai usia 7 tahun
Ø Mendidik anak
untuk mencintai Allah SWT, Rasulullah SAW dan Alqur’an
Tauhid
artinya keesaan Allah (unity of God);
kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu-satunya Dzat yang patut disembah. Hal
ini sesuai dengan Alqur’an surat
Luqman ayat 13 yang artinya :
Dan ingatlah ketika Luqman berkata
kepada anaknya,ketika dia memberi pelajaran kepadanya,”Wahai anakku! Janganlah
engkau mempersekutukan (Allah),sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kedzaliman yang besar.”(Q.S.Luqman ; 13).
Pendidikan
akhlaq/moral meliputi pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan
perangai yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak dini
sehingga menjadi manusia yang mampu mengarungi lautan kehidupan. Jadi sejak
masa anak-anak mereka tumbuh dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah SWT
dan terdidik untuk selalu takut, ingat, bersandar, meminta pertolongan dan
berserah diri kepadaNya, sehingga ia akan memilki potensi di dalam menerima
setiap keutamaan dan kemuliaan, di samping terbiasa melakukan akhlaq mulia.
Yang
dimaksud pendidikan fisik adalah
menjaga dan melatih anak menjaga jasmaninya agar kelak tumbuh dewasa dengan
kondisi fisik yang kuat, sehat, semangat dan bergairah. Dalam hal ini Islam
menyajikan metode praktis dalam mendidik fisik anak-anak :
Ø Ayah wajib
memberi nafkah keluarga dengan cara yang ma’ruf
Ø Mengikuti aturan
yang sehat dalam makan, minum dan tidur
Ø Mencegah diri
dari penyakit menular
Ø Pengobatan
terhadap penyakit,dan lain-lain
Tanggungjawab
pendidikan intelektual merupakan
pembentukan dan pembinaan berpikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat,
ilmu pengetahuan, peradaban ilmiah serta kesadaran berpikir dan berbudaya.
Dengan pendidikan ini ilmu rasio dan peradaban anak benar-benar terbina.
Sedangkan
pendidikan psikis adalah melatih anak
supaya berani, berterus terang, merasa sempurna, suka berbuat baik kepada orang
lain, menahan diri ketika amarah dan senang kepada seluruh bentuk keutamaan
psikis dan moral. Tujuan pendidikan ini adalah membentuk, menyempurnakan, dan
menyeimbangkan kepribadian anak sehingga kelak ia dapat melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada dirinya dengan baik dan mulia. Dalam
hal ini faktor-faktor terpenting yang harus dihindarkan oleh para pendidik dari
anak-anak dan siswa-siswi adalah sifat-sifat berikut :
Ø Sifat minder
Ø Sifat penakut
Ø Sifat rasa
rendah diri
Ø Sifat
hasut/iri/dengki
Ø Sifat pemarah
Pendidikan
sosial adalah pendidikan agar anak
terbiasa menjalankan adab sosial yang baik yang bersumber pada aqidah Islamiyah
serta perasaan keimanan yang mendalam agar di dalam masyarakat ia bisa tampil
dengan pergaulan dan adab yang baik serta tindakan bijaksana. Oleh karena itu
para pendidik harus berusaha keras untuk melaksanakan tanggungjawabnya dengan
sebaik mungkin dalam pendidikan sosial.Sehingga mereka dapat memberikan andil
di dalam mengusung suatu peradaban Islam yang berpusat pada keimanan, akhlaq, pendidikan
sosial terbaik dan norma-norma Islami yang tinggi.
Sedangkan
pendidikan seksual meliputi
upaya pengajaran, penyadaran dan
penerangan tentang masalah seksual yang diberikan kepada anak,sejak ia mengerti
masalah-masalah yang dihalalkan dan diharamkan. Bahkan mampu menerapkan tingkah
laku Islami sebagai akhlaq, kebiasaan, dan tidak mengikuti syahwat.
Tanggungjawab
terhadap tujuh masalah ini saling berkait erat dalam pembentukan karakter anak
secara integral dan dalam mendidik anak secara sempurna agar menjadi seorang insan
yang konsisten dalam melaksanakan kewajiban, risalah dan tanggungjawab. Alangkah
hebatnya, jika intelektual yang tinggi dilandasi dengan tauhid yang kuat. Alangkah
indahnya, jika akhlak mulia itu diiringi kesehatan jasmani dan rohani. Alangkah
agungnya, ketika anak bertolak mengarungi kehidupan praktis dengan membawa
persiapan yang telah dirancang oleh para pendidik dari seluruh aspek
kehidupannya.
Bagaimana Konsep Pendidikan Integral?
Sebagaimana
yang tertuang dalam pengertian istilah, maka dalam pendidikan integral tentu
saja memadukan berbagai aspek, yang mana antara satu dengan yang lain saling
terkait sehingga terbentuk satu kesatuan yang utuh dan sempurna. Dalam hal ini
ada banyak hal yang diintegrasikan dalam model pendidikan integral.
Pertama, mendesain
lingkungan belajar yang terdiri dari 3 institusi yaitu sekolah, keluarga, dan
masyarakat. Ketiga institusi ini saling terkait erat antara yang satu dengan
yang lain. Keluarga merupakan institusi pendidikan yang utama dan pertama,
karena sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan di dalam lingkungan keluarga.
Jika anak ingin sukses di sekolah maka orang tua tentu saja tidak tinggal diam
terhadap perkembangan anaknya. Orang tua tidak boleh menyerahkan sepenuhnya
pendidikan anaknya kepada pihak sekolah, demikian sebaliknya. Harus ada komunikasi
hangat antara sekolah dan keluarga. Komunikasi antara orang tua dan guru
merupakan media untuk mengetahui perkembangan psikologis anak.
Prinsipnya,
orang tua harus aktif mengikuti perkembangan anaknya ketika di sekolah,
termasuk mencermati pelaksanaan kurikulum sekolah tempat anak mereka menuntut
ilmu. Guru adalah orang tua ketika anak di sekolah, dan orang tua adalah guru
ketika anak di rumah. Sungguh indah jika para pendidik bisa memahami kalimat
ini. Yang jelas, kualitas pertemuan antara orang tua dan anak-anak di rumah harus
diciptakan semenarik mungkin agar anak sukses di sekolah.
Sekolah,
merupakan institusi pendidikan formal yang mutlak dicari oleh orang tua. Dalam
sistem pendidikan integral lingkungan sekolah didesain semenarik mungkin agar
anak didik betah belajar di dalamnya. Mulai dari kelas tempat mereka belajar,
halaman tempat mereka bermain, masjid tempat mereka belajar beribadah kepada
Allah, dan sebagainya. Bukan hanya itu, dalam konsep pendidikan integral guru
bukan saja transfer ilmu (transfer of
knowledge) tapi juga transfer nilai
(transfer of value), sebagai
implementasi tanggungjawab pendidikan dari seluruh aspek. Dalam hal ini sudah
seharusnya kita meneladani Rasulullah Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah,seperti firman Allah SWT dalam Alqur’an surat Al-Ahzab ayat 21, yang
artinya ‘Sungguh telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.’ Pendekatan dan metodologi
pengajaran integral mesti dilandasi dengan teladan yang baik dari guru/pendidik.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa aplikasi paling nampak dari seorang pendidik
yang baik adalah karimul akhlaq.
Akhlaq bukan semata-mata sopan santun atau tata krama yang berasal dari tradisi
suatu bangsa. Akhlaq seorang muslim adalah refleksi dari keimanan kepada Allah dan
RasulNya. Muhammad adalah satu-satunya manusia yang dijadikan Allah sebagai model untuk diikuti dan diteladani,
karena akhlaq Rasulullah adalah Alqur’an itu sendiri. Allah berfirman dalam surat Al-Qalam ayat 4 yang
artinya: ”Dan sungguh engkau (Muhammad)) benar-benar
memiliki akhlaq yang agung.” Dalam bahasa Jawa, guru adalah akronim dari digugu lan ditiru, didengarkan
nasihatnya dan ditirukan/diikuti tingkah lakunya. Adalah sebuah kesalahan besar jika pendidik memberikan contoh yang salah sehingga murid pun
akan melakukan kesalahan untuk selamanya.
Selain
itu, sekolah integral juga memadukan
antara pendekatan dan metodologi pengajaran, siswa dengan guru, guru
dengan orang tua/wali murid serta lingkungan sekolah. Materi pelajaran yang
mencakup seluruh ilmu pengetahuan dipandang secara komprehensif di mana
keseluruhannnya merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga tidak ada pemisahan
antara ilmu agama (ulumuddin) dan
ilmu pengetahuan umum, duniawi dan ukhrowi.
Oleh
karenanya seorang pendidik dalam lembaga pendidikan integral mesti memiliki
karakter siddiq (jujur), tawadlu’ (rendah hati), dan selalu
menjaga ukhuwah yang ditandai dengan ruhama’
(kasih sayang). Tidak kalah penting, keikhlasan
adalah karakter utama yang harus dimiliki seorang pendidik. Dalam sistem pendidikan
integral semua guru adalah guru agama (Islam, red.), sedangkan murid dipandang
secara utuh dari seluruh instrumen yang dimiliki manusia sehingga aspek
intelektual, emosional, dan spiritual dikembangkan secara integrated.
Institusi
pendidikan ketiga adalah masyarakat, lingkungan sekitar yang sangat berpengaruh
terhadap tumbuh kembang anak sampai kelak mereka dewasa. Masyarakat dengan
sosio-kultur yang beragam akan membawa anak kepada berbagai pilihan. Mulai dari
tradisi, paradigma, life style dan
keberagaman yang lain, yang mana semuanya mudah ditirukan oleh anak. Biarkan
mereka membaur dengan masyarakat, bermain dengan teman-teman, dan bergaul
dengan lingkungan tempat tinggal mereka, karena ini merupakan bagian dari
proses belajar mereka. Sopan santun, tata krama, memahami karakter orang lain,
memberi dan menerima perbedaan, dan mengalami kekalahan akan mereka peroleh di sana . Di sinilah perlunya
pendampingan dan peran aktif orang tua dan pendidik dalam mengontrol tumbuh
kembang karakter spiritual dan emosional mereka. Orang tua dan pendidik dapat
memberikan penjelasan serta pencerahan tentang fenomena yang terjadi di
lingkungan sekitar dan memberikan solusi bagaimana mengatasinya.
Kedua, sekolah integral mengembangkan
beragam kecerdasan yang sudah dimiliki anak didik di dalam diri masing-masing
sebagai karakter dasar. Beragam kecerdasan itu adalah kecerdasan intelektual
atau IQ (Intelektual Quotient),
kecerdasan emosi atau EQ (Emotional
Quotient), dan kecerdasan spiritual atau SQ (Spiritual Quotient) yang ternyata mengikuti konsep Rukun Iman dan
Rukun Islam yang menjadi pondasi dalam agama Islam.
1.
Kecerdasan intelektual (IQ) dikembangkan dengan cara
membantu siswa melalui 4 tahap discovery
learning, yaitu merencanakan kegiatan belajar untuk membantu siswa dalam
menjawab pertanyaan, menggunakan berbagai sumber untuk mendapatkan informasi
dan mencatat hasil temuannya,
merenungkan apa yang telah dilakukan, dan menyimpulkan apa yang telah
ditemukan. Dalam konsep pendidikan integral kemampuan akademik, nilai rapor,
predikat kelulusan yang cumlaude,
bukan menjadi satu-satunya tolok ukur dalam menilai kecerdasan anak. Kelak
ketika mereka sudah terjun di dunia yang sesungguhnya, nilai yang bagus belum
tentu bisa dijadikan tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang dalam
pekerjaannya atau seberapa tinggi sukses yang dicapai.
2.
Kecerdasan emosional (EQ) adalah kemampuan untuk
merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah kejujuran diri kita terhadap suara hati. EQ
merupakan inti kemampuan pribadi dan social yang merupakan kunci utama
keberhasilan seseorang. Pengembangan kecerdasan ini dimulai dengan membantu
siswa untuk mengembangkan strategi belajar cooperative
learning melalui proses belajar. Juga membantu siswa dalam berbagi ilmu
atau apa yang telah mereka pelajari kepada teman-teman yang berbeda kemampuan
berpikirnya, serta belajar berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Dalam
pengembangan kecerdasan ini anak diajarkan tentang integritas, kejujuran,
komitmen, visi, ketahanan mental menghadapi kegagalan, kebijaksanaan, keadilan,
penguasaan diri, keberanian, kerjasama dan lain-lain.
Berdasarkan
survei di Amerika Serikat pada tahun 1918 tentang IQ ditemukan ‘paradoks’ membahayakan;
“Sementara skor IQ anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru
turun. Lebih mengkhawatirkan lagi, data hasil survei besar-besaran 1970 dan
1980 terhadap para orang tua dan guru menunjukkan,’Anak-anak generasi sekarang
lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi terdahulunya. Secara
pukul rata anak-anak sekarang cenderung kesepian dan depresi, mudah marah dan
lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung
cemas, impulsif dan agresif.” Dalam pengkajiannya kemudian ditemukan
suatu inti kemampuan pribadi dan social yang sama, yang terbukti menjadi kunci
utama keberhasilan, yaitu kecerdasan emosi. 3.Kecerdasan
spiritual (SQ) merupakan kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia karena ia
sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Kecerdasan spiritual merupakan temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dari
Harvard University
dan Marshall dari Oxford University .
Menurut mereka kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi
persoalan makna atau value, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks yang lebih
luas, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Pengembangan
kecerdasan jenis ini dimulai dari
ketakjuban akan tanda-tanda kebesaran Allah SWT melalui pengalaman belajar,
yang bisa dilihat dari diri sendiri, alam sekitar tempat belajar, sejarah,
serta tulisan sehingga hati dan pikiran anak bisa diaktifkan selama proses
belajar sedang berlangsung. Setelah usai pelajaran anak-anak dilatih menerapkan
dalam lingkungan sekitar bersama teman mereka, yang merupakan implementasi
ibadah harian seperti wirid, qiyamul lail, sedekah, muamalah dan berbagai jenis
ibadah yang lain, sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang positif.
Mengapa Harus Memilih Pendidikan Integral Berbasis
Tauhid?
Saya
yakin, masih banyak orang tua dan pendidik yang merasakan ketidakpuasan dalam
dunia pendidikan. Masih banyak pula yang gelisah karena bisa belajar agama
secara ritual saja tanpa tahu bagaimana makna dan penerapannya dalam kehidupan.
Namun banyak di antaranya yang tidak sadar bahwa sesungguhnya yang tidak puas
bukanlah fisiknya, tapi adalah hati yang ada di dalam dada. Itulah jeritan kita
semua, jeritan generasi penerus perjuangan Islam. Tidaklah cukup ketika kita
ingin meningkatkan kualitas moral manusia hanya dengan mengembangkan
intelektual saja, tapi juga dibutuhkan pengembangan kecerdasan emosional dan
spiritual.
Jika
kita perhatikan dalam sistem pendidikan nasional, mulai dari kurikulum 1975,
kurikulum 1994, kurikulum 2004, sampai KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) , ternyata di
dalamnya hanya mencantumkan materi pendidikan agama 2 jam pelajaran pada setiap
minggu. Padahal pendidikan agama diharapkan mampu memberikan solusi bagi
permasalahan hidup saat ini. Ternyata pendidikan agama hanya menjadi ajaran ‘fiqh’
yang dipahami sebagai pendekatan ritual saja, sehingga terjadi pemisahan antara
kehidupan duniawi dan ukhrowi. Hal ini berarti hanya berkisar 6,25 % dari
seluruh muatan pelajaran yang ada dalam kurikulum. Di Indonesia pada umumnya
Hari Belajar Efektif (HBE) dan Minggu Efektif (ME) yang dijalani anak didik di
sekolah sangat sedikit. Rata-rata hanya ada sekitar 33 minggu efektif pada
tiap tahun. Berarti mata pelajaran agama
yang diterima hanya 66 jam pelajaran. Ini setara dengan 2.640 menit (66 jam
pelajaran x 40 menit), yang berarti hanya 44 jam saja. Padahal diketahui bahwa
dalam setahun manusia memiliki jatah waktu sebanyak 8.760 jam. Itu artinya,
anak-anak hanya menggunakan 0,5 % dari seluruh waktu yang dimilikinya per tahun
untuk belajar agama. Maka sisanya sebesar 99,5 % per tahun terbuang tak
bermakna. Ini setara dengan 8.716 jam yang terbuang per tahun. Jika kita asumsikan
usia rata-rata manusia adalah 60 tahun, maka sebanyak 522.960 jam terbuang
sia-sia selama hidupnya. Sangat ironis. ’Sungguh,
manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi.’(Q.S. Al-‘Ashr: 2)
Maka,
tidak mengherankan jika sistem pendidikan seperti ini terbukti telah gagal
melahirkan manusia shalih yang handal sesuai harapan umat. Sistem pendidikan
yang diterapkan masih jauh dari standar nilai agama (Islam,red.). Pembentukan
karakter siswa (character building)
yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan tidak kunjung mendapat
perhatian. Jika kita pahami lebih serius, maka semuanya hanya akan membawa
manusia keluar dari fitrahnya, menjauhkan manusia dari hakikat kehidupan yang
semestinya. Padahal Allah SWT memerintahkan agar manusia mencari dan menyadari
siapa dirinya dan darimana ia berasal. “Bacalah
dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakanmu
dari segumpal darah. Baca dengan nama Rabb-mu Yang Maha Pemurah. Yang
mengajarimu dengan perantaraan kalam. Yang mengajarimu apa yang tidak kamu
ketahui.”(QS.Al-Alaq : 1-5)
Pada
umumnya sekolah-sekolah yang ada sekarang cenderung menonjolkan kecerdasan
intelektual/koqnitif saja tanpa mengindahkan pentingnya memupuk kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual. Sekolah dan orang tua bangga jika anaknya
memperolah nilai di atas 9 pada mata pelajaran matematika, fisika atau yang
lain. Orang tua juga bangga jika anaknya menduduki peringkat pertama di kelas
karena kemampuan akademisnya. Bahkan hal tersebut akhirnya menjadi kebanggaan
tersendiri jika mereka berkumpul dengan teman dan koleganya. Ini terjadi di
mana-mana, di semua ruang dan waktu. Sebagian besar orang tua tidak berpikir
kritis bahwa sesungguhnya di balik nilai akademis yang nyaris sempurna itu masih
menyisakan banyak kekurangan pada anaknya.
Di
masa depan, apa dan bagaimana kita mendidik anak-anak kita akan terbukti lebih
penting daripada seberapa banyak kita mendidik mereka. Kalimat ini sungguh
indah jika kita renungkan. Anak kita dan anak didik kita adalah bukan milik
kita, tetapi anak kita adalah milik jamannya. Pernahkah kita memprediksi apa
yang akan terjadi pada anak-anak di jaman yang akan datang? 10 tahun, 15 tahun
atau 20 tahun mendatang? Itulah yang akan dialami oleh anak didik kita. Orang
tua dan para pendidik harus dapat menyiapkan mereka untuk dunia di masa depan,
bukan dunia saat ini. Sistem pendidikan yang cocok untuk anak-anak masa depan
adalah pendidikan yang menerapkan keseimbangan beragam kecerdasan, yang
meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
spiritual.
Dengan
konsep pendidikan integral berbasis tauhid siswa diajak untuk mengenal kebesaran
Allah SWT sejak awal pelajaran. Dengan kecerdasan intelektualnya mereka akan
takjub dengan keagungan Allah SWT melalui tanda-tanda yang bisa dilihatnya
melalui pengalaman belajar. Tanda-tanda kebesaran Allah SWT dapat mereka lihat
melalui diri sendiri maupun alam semesta ciptaanNya, yang mana hal itu dapat
memotivasi mereka untuk mengaktifkan hati dan pikiran saat proses belajar.
Secara alamiah, ketakjuban siswa dalam mengaktifkan kesadaran yang tinggi akan
adanya Allah SWT, akan mengembangkan rasa ingin tahu mereka dan akan meningkatkan
minat belajarnya. Yang jelas, dengan pendidikan integral berbasis tauhid
lengkaplah sudah siklus pembelajaran yang dimulai dari ketakjuban pada Allah SWT
dan diakhiri dengan menjadikan siswa lebih cinta, yakin dan lebih kagum pada
Allah SWT. Subhaanallaah.(TWP)
0 komentar:
Posting Komentar